neh ada Bapak Mahfud MD.
Dosen muda ini menerima anugerah gelar profesor meloncat empat tingkat. Memang layak karena berprestasi.
Anekdot arek Madura: mengukur tinggi tiang bendera dengan memanjatnya agar cepat sampai, rupanya betul-betul dipraktikkan Dr. Mohammad Mahfud Mahmodin. Dengan melompat empat golongan, dosen Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu menerima anugerah guru besar (profesor), awal Januari lalu. Lelaki kelahiran Sampang, Madura, itu telah mencatat prestasi luar biasa, meraih puncak prestasi akademik.
Mahfud M.D., begitu biasa dipanggil, patut bangga atas predikat tertinggi di dunia akademik. Rekor Mahfud menyamai usia Yusril Ihza Mahendra, saat menerima gelar profesor termuda, 42 tahun. Lelaki yang hobi masakan Padang itu membuktikan, berkarier sebagai dosen di Perguruan Tinggi Swasta bukan halangan seseorang meraih gelar predikat tertinggi. "Seseorang meraih gelar profesor tanpa melewati tahapan satu per satu, tapi dengan pengumpulan cum prestasi. Alhamdullilah, gelar itu bisa diraih," kata Mahfud bangga.
Padahal, baru Februari 1996 lalu, runner up pengamat politik simpatik versi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta itu menerima SK kenaikan pangkat III D, lektor madya. Menurut urutan tradisinya, setiap 3,5 tahun setelah lektor madya, ia harus menapaki jenjang lektor, lektor kepala madya, dan lektor kepala. Setelah ditambah kumpulan cum 570 poin, baru ia mendapat anugerah guru besar yang dikukuhkan oleh presiden. Normalnya, Mahfud menjadi profesor tahun 2011.
Tapi, bukan Mahfud kalau hanya menunggu proses normal. Lelaki yang akrab dengan wartawan ini aktif mengumpulkan cum dengan penulisan buku, kegiatan seminar dan penelitian, serta penulisan artikel di berbagai media massa. Fantastis. Hanya dalam waktu kurang dari 4 tahun, ia berhasil mengumpulkan angka 675 poin. Angka itu diajukan ke Departemen Pendidikan Nasional sejak 1999. Hasilnya, turunlah surat keputusan bertanggal 1 November 1999, yang mengantar bapak tiga anak itu menjadi guru besar.
Meskipun melompat empat tingkat, dari lektor madya golongan III D ke guru besar, Mahfud jauh dari rasa congkak. "Penilaian saya berdasar pada pengumpulan cum dari kegiatan ilmiah. Ya, saya sering diundang masyarakat untuk ceramah. Jadi, ini atas desakan dan permintaan masyarakat," katanya merendah.
Pemikiran kritisnya terhadap persoalan hukum tata negara dengan selalu mengupas dari aspek politik membuat tulisannya laku di media massa dan jurnal-jurnal ilmiah. Imbasnya, Mahfud menjadi langganan narasumber wartawan atau pembicara seminar nasional. Tercatat 107 makalah yang memenuhi standar ilmiah telah dipresentasikannya.
Lalu, di tengah kesibukan mengajar di beberapa perguruan tinggi, ia menerbitkan lima judul buku ilmiah dalam waktu tiga tahun. Buku karyanya itu adalah Politik Hukum di Indonesia, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Amandemen UUD Dalam Rangka Reformasi Tata Negara, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, serta Karakter Produk Hukum Zaman Kolonial dan Studi tentang Politik dan Karakter Produk Hukum pada Zaman Penjajahan di Indonesia.
Ciri khas mantan aktivis pers UII itu selalu melihat hukum dalam wacana politik. "Saya tawarkan paradigma baru dalam mempelajari hukum. Hukum itu produk politik, untuk mempelajarinya harus dengan ilmu politik. Maka, perlu paradigma politik hukum baru dalam belajar hukum," katanya, sedikit membuka rencana pidato pengukuhannya yang akan dilaksanakan akhir April.
Keinginan menawarkan paradigma baru itu merupakan hasil dari perjalanan studinya. Setelah lulus dari Fakultas Hukum UII, 1983, ia mengaku sangat kecewa dan gelisah, karena kenyataannya kondisi hukum dan kinerjanya sangat berbeda jauh dengan apa yang dipelajari di bangku kuliah. "Hukum yang harus menjadi penentu, kenyataannya menjadi pembenar tindakan penguasa dan alat memanipulasi kebenaran," kata Mahfud, yang diharapkan orangtuanya menjadi da'i kampung.
Kekecewaan membuat Mahfud selalu mencari jawaban terhadap persoalan itu, hingga ia sampai pada kesimpulan bahwa sumber biangnya adalah masalah politik. Hal itu mendorong Mahfud mempelajari ilmu politik di pascasarjana, 1989, dan program doktor dengan disertasi tentang politik hukum di UGM dan lulus 1993.
Untuk mempertajam analisisnya, Mahfud bersama kawan-kawannya di Yogyakarta membentuk Parliement Watch (ParWi). Lembaga ini bukan untuk mencari kesalahan pejabat, melainkan untuk mengawasi kinerja pemerintah dan mendudukkan masalah yang benar. Mungkin karena getol itu, Menteri HAM, Hasballah Saad, menawari Mahfud menjadi staf ahlinya, pekan lalu. "Tawaran itu kehormatan bagi saya dan UII. Kesempatan itu tak akan datang dalam waktu 10 tahun lagi," kata suami Zaizatun Nihayati itu. Jadi, pada prinsipnya ia bersedia, dengan syarat, tetap bisa mengajar.
-Khoiri Akhmadi dan Haryadi (Yogyakarta)
oreng madure aski jiah
BalasHapus