Memang masih banyak orang yang tidak tahu, bahwa kebudayaan masyarakat Madura sebenarnya tidaklah tunggal. Ada varian dan karakteristik yang membedakan masyarakatnya di 4 kabupaten mulai sejak Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Semakin ke timur anda akan mendapati masyarakatnya semakin halus.
Di Sumenep tingkatan bahasa betul-betul digunakan, lebih-lebih pada wilayah Sumenep timur. Karena di Sumenep sendiri juga tidaklah tunggal. Semakin ke timur, bahasa yang digunakan semakin halus. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat di kawasan timur kota, misalnya, lebih halus ketimbang masyarakat yang menghuni daerah di kawasan barat kota.
Dalam pergaulan sehari-hari, tingkatan bahasa sepenuhnya dipraktekkan oleh masyarakat Sumenep. Secara sederhana bahasa yang digunakan bisa dikelompokkan dalam empat tingkatan kepada yang lebih muda, setara, orang yang lebih tua, dan orang yang paling dituakan. Saya ambil contoh, untuk menyebut orang kedua (kamu/anda) bisa dibedakan dalam tingkatan seperti berikut ini:
Ba’na : untuk menyebut orang kedua yang lebih muda atau orang yang setara dan sudah akrab. Bahasa ini di level paling kasar
Dika : sama dengan di atas, cuma sebutan ini sedikit lebih halus
Sampeyan : sebutan orang kedua yang halus. Biasanya bahasa ini gunakan kepada orang yang lebih tua
panjenengan/ajunan : sebutan orang kedua yang paling halus. Ini digunakan kepada orang yang dituakan atau sesepuh, misalnya kiai, guru, atau tokoh masyarakat.
jika misalnya mau menanyakan, “anda mau kemana?”, harus dilihat dulu siapa lawan bicaranya.
Kalau menanyakan kepada orang yang lebih muda atau setara, “ba’na entara dha’ emma?” Jika lebih muda bisa juga, “dika entara dha’ emma?”. Jika lebih tua, “sampeyan alongguwa ka ka’dhimma?”. Sementara kepada orang yang lebih dituakan, “panjenangan/ajunan miyosa ka ka’dhimma epon?”.
Jika dilihat contoh di atas, nampak sekali bahwa di setiap tingkatan, penggunaan orang ketiga dan bahasa yang menyertai di belakangnya ada perbedaan. Semakin tua atau terhormat lawan bicara kita, semakin halus bahasa yang kita gunakan. Tingkatan bahasa itu harus digunakan secara ajeg. Tidak bisa seenaknya pemakai mencampur bahasa kasar dengan bahasa halus.
Cara kita berbahasa akan mempengaruhi gesture atau bahasa tubuh. Jika kita menggunakan bahasa halus (atau baik?) akan menampilkan bahasa tubuh yang “halus” pula. Tidak mungkin orang yang menggunakan bahasa halus akan menampilkan bahasa tubuh atau sikap yang kasar. Bahkan pak D. Zawawi Imron, penyair nasional asal Sumenep pernah mengatakan dalam workshop pendidikan kedamaian berbasis pesantren, bahwa bahasa halus akan mendorong seseorang untuk berprilaku damai. Dengan kata lain, bahasa halus bisa mengontrol emosi seseorang, yakni dengan menggunakan bahasa yang tepat dan tidak menyinggung atau melukai perasaan seseorang.
Factor bahasa inilah mungkin salah satu jawabannya, kenapa orang luar Madura mengenal Sumenep sebagai ‘Solonya” Madura. Dan hingga saat ini bahasa yang halus di Sumenep masih terpelihara karena diselamatkan oleh pesantren. Di pesantren, dalam pengajian-pengajian kitab serta pergaulan sehari-hari, bahasa Madura dalam semua tingkatannya, termasuk yang paling halus, masih digunakan.
Di samping bahasa, factor “Solonya” Sumenep juga bisa dilihat banyaknya situs sejarah yang menunjukkan Sumenep dahulu memiliki kraton. Bedanya, jika di Solo keraton dilestarikan, sementara di Sumenep tidak. Bahkan bagi keluarga keraton - yang saat ini masih banyak- untuk membubuhkan RB (raden bagus) di depan namanya saja sudah malu. RB sudah tidak dipakai lagi, karena dalam pandangan masyarakat saat ini status social keluarga keraton dianggap sama dengan rakyat biasa. Tetapi adanya keraton di kabupaten Sumenep pada masa lalu turut membentuk kehalusan bahasa yang hingga kini masih digunakan dalam pergaulan sehari-hari (bandingkan dengan penjelasan Wikipedia)
cek : http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/12/sumenep-%E2%80%98solonya%E2%80%99-madura/
wowww
BalasHapus