Aku hanya tokang tongko’ (kisah seorang bocah penantang maut)

tember 2011 | Minggu, September 11, 2011

Ilustrasi
Awan hitam bergumpal, saat debu tipis melayang terbang di lapangan gersang berwarna coklat, suara teriakan para manusia terdengar nyaring sembari menenteng kaleng – kaleng berisi batu, klontang…..klontang….klontang…..ayo….indrajid lari secepat kilat dan berilah aku kemenangan siang hari ini ucap pria bertubuh tambun berkaos loreng berkacama hitam itu, sambil meloncat – loncat dari atas podium panitia. Indrajid……kau sapi terbaikku, ayo Wi sambil menunjuk pada seorang bocah yang sedari tadi asyik duduk di kaleles1 sapi,
tempat dia mengendalikan Indrajid saat berlari, semacam kursi pilot saat menerbangkan pesawat Sukhoi namun bukan dengan alat canggih dia mengendalikannya, dia hanya berbekal keberanian dan sebuah pecut berbulu merah. Disekelilingnya orang- orang sibuk menenangkan Indrajid yang mulai ateng-banteng2 karena kedatangan musuh abadinya Kacong Madhure3, terlihat seorang berpakaain merah sibuk mengusap – usap tubuh, ka
ki, muka dan kaleles Indrajid agar tenang. Kerapan sapi di Madura bukan hanya sekedar tradi

si turun – temurun leluhur namun saat ini kerapan sapi sudah bergeser menjadi sebuah ajang gengsi para pemiliknya, semakin bagus dan sering menang dalam perlombaan maka dengan sendirinya harga sapi tersebut akan naik pula, begitupun juga dengan pamor pemilik sapi tersebut, sehingga wajarlah kerapan sapi menjadi lumbung bagi sebagian orang Madura untuk mendadak kaya. Sepertinya halnya indrajid banyak orang yang sudah menawar sapi


ini namun karena permintaan Mudawi akhirnya Haji Matram tidak melepasnya untuk dijual sebab Indrajid sudah sejak kecil selalu bersama mudawi.
Hari semakin siang, seakan – akan matahari sangat dekat dengan ubun-ubun kepala, Nampak bias sinar matahari dipersunting oleh rintik hujan yang merebahkan tubuhnya pada lapangan berwarna merah kecoklatan, Mudawi dengan semangat menggebu –gebu, dengan tatapan tajam mengarah kedepan dia sudah siap landing dan terbang, akan tetapi Mudawi harus sedikit bersabar karena lawannya di salempang koneng4 belum siap, sementara itu indrajid sapinya mulai tenang setelah di usap – usap oleh laki – laki berpakaiaan merah yang tak lain adalah pamannya sendiri Mat Lani, lelaki bertubuh kurus ceking, mata bulat,yang putihnya bercampur merah sebab sering begadang,dan tak lupa Mat lani selalu membawa sekep5 kemanapun dia pergi serta yang terpenting rokok klobotnya yang menambah kesan sanggarnya. Rintik hujan semakin cepat turun dari peraduaannya, di sertai suara guntur yang saling bersahutan, membuat para penonton mundur perlahan mencari tempat untuk berteduh. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.45 tapi lomba belum dimulai juga, tampak H. Matram gelisah sesekali ia menyeruput segelas kopi hitam yang dibelinya sejak tadi pagi. Setelah lama bersabar akhirnya nampak juga watak asli dari H. Matram dia langsung mengeluarkan sumpah serapah kepada panitia yang ada di atas podium.
“Pathek…..Korang ajar panitia jhia, ta’ dhulian ngocol sape na….!!!! apa parlo sengko’ se kodu toron….!6 Ucap H. Matram dengan logat Madura yang kental mencabut celurit dari pinggangnya dan berlari ke podium panitia.
“Ji, se sabher…..je’ sampe’ ra-gara emosi sampeyan sapenna kalah!!!7 Ucap Matlani sembari memegang dan menarik tubuh Haji Matram menjauh dari podium panitia.
Haji Matram dengan nafas tersengal – sengal segera mengikuti saja langkah MatLani pergi dari podium panitia menuju tenda mereka. Sementara Ojan8 secara tiba – tiba datang bak segerombolan banteng yang di usik ketenangannya, dan refleks para penonton segera menyingkir dari pinggir lapangan Giling Sumenep mencari tempat berteduh. Namun hujan tadi hanya sekedar lewat saja untuk sekedar mengingatkan para pemain kerapan sapi untuk segera merampukan permainannya. Terdengar kemeresek dari corong panitia yang memberitahukan kepada seluruh yang hadir di lapangan tersebut bahwa pertandingan sore itu adalah pertandingan terakhir, dan pengumuman dilanjutkan dengan memanggil para peserta kerapan agar bersiap yaitu: salempang merah Indrajid, salempang biru Pesawat Tempur dan salempang kuning Kacong Madhure dan pemenang hari ini akan memperebutkan piala Bupati Sumenep.
Akhirnya pertandingan yang ditunggu – tunggu pun di mulai, di bawah salempang merah Indrajid dengan tukang tongko’nya Mudawi berdiri gagah perkasa, sapi yang merupakan jawara bertahan, ini harus bertarung dengan musuh abadinya yakni Kacong Madhure yang berdiri angkuh dibawah salempang kuning, dan salempang biru sapi mungil bernama Pesawat Tempur yang mempunyai kecepatan seperti F-16 pesawat tempurnya Amerika, kecil-kecil cabe rawit komentar penonton di pinggir lapangan Giling.
Seorang panitia di atas panggung nampak berdiri di dekat mic sambil membawa bendera ditangan kanannya memegang bendera warna merah dan ditangan kirinya bendera hijau, suara panitia itu meraung – raung untuk meminta seluruh peserta kerapan sapi bersiap karena lomba akan segera dimulai. Setelah melihat aba – aba siap dari para panitia yang ditebar di tempat strart maka panitia di atas podium mulai mengangkat bendera merah, inilah saat – saat yang ditunggu semua orang yang hadir disana, siapakah yang akan pulang dengan dada membusung dan kepala tegak atau siapakah yang akan pulang dengan kepala tertunduk karena kalah. Suara panitia di atas podium kembali meraung – raung, nampak wajah panitia tersebut bercucuran keringat karena memang udara panas menerpa sekujur tubuhnya, sesekali dia menyambar sebotol air mineral yang ada di atas meja kerjanya. Akhirnya lomba kerapan sapi dimulai satu….dua…tiga…coooolllll, 3 peserta sapi kerapan meluncur bagai anak panah lepas dari busurnya, berlari melesat bagai Valentino Rossi dalam lomba GP1, seperti M.Schumacher dalam Formula 1. Tiba – tiba peserta dari salempang biru yang tak lain adalah Pesawat Tempur mencoba menggunakan tubuh kecil melewati Kachong Madhure yang tampak mulai ngos-ngosan, tapi upaya Pesawat Tempur mendapat perlawanan dari Kachong Madhure yang kembali berapi – api, sedangkan Indrajid tampak tertinggal dua langkah dari 2 lawannya terlihat tenang – tenang saja, tapi situasi itu berbeda dengan Haji Matram yang tampak gelisah dan berulangkali tampak ia duduk berdiri dan duduk lagi,sesekali memeggang topi koboinya dan menunjuk – nunjuk mudawi yang terus membangkitkan semangat Indrajid dari kalelesesnya. Suasana lapangan Giling nampak penuh sesak oleh para penonton baik lokal maupun dari luar negeri, para pemburu momen unik juga nampak berlari – lari sambil menenteng kamera mencari pose terbaik dari para sapi kerapan. Kembali ke arena kerapan, Mudawi masih saja membangkitkan semangat Indrajid yang masih berlari dibelakang para lawannya, dan tiba – tiba Mudawi mendengar teriakan dari sis kanan arena balapan.
“ Saatnya….cong9 Teriak Matlani dari pinggir lapangan kepada mudawi
Mudawi hanya mengangguk kecil sembari ia mengeluarkan sebuah pecut panjang berwarna kecoklatan dari kalelesnya, dan tanpa ampun Mudawi menghempaskan pecut itu ke pantat Indrajid berulang kali sambil mulutnya komat – kamit merapal sebuah mantra, mudawi memecut Indrajid hingga sapi itu juga mulai merasakan sakitnya dan dengan beringasnya Indrajid berlari kesetanan mengejar dua lawannya dan mampu melewatinya dengan mudah sambil terus melaju menuju ke garis finish. Sementara itu para tokang tongko’ Kachong Madhura dan Pesawat tempur nampak terkejut melihat gelora semangat dari Indrajid dan tongkang Tongko’nya yang tak lain adalah Mudawi. Kachong Madhure dan Pesawat tempur mencoba mengejar namun apa daya Indrajid telah mengeluarkan kemampuan terbaiknya pada sore ini, Indrajid sapi yang kelak menjadi leganda di kab. Sumenep ini akhirnya keluar menjadi pemenang pada sore itu, Indrajid dan Tokang Tongko’nya meninggalkan jauh para lawan di belakanngya.
Raut muka haji Matram langsung cair ketika melihat Indrajid sapi kerapannya berhasil masuk garis finis dan menjadi pemenang sore itu. H. Matram langsung bersujud syukur atas kemenangan yang diperolehnya pada hari ini, sambil tertawa terbahak – bahak H. Matram berdiri dan menepuk pundak Mat lani yang hanya diam dsamping tubuh gemuk H. Matram.
“ Ba’na pajet bisa e andhelaggi,ta’ rogi sengko makaloawar pesse banya’.....hahahah” 10 Ucap H. Matram pada Mat lani.
“tape....anu Ji....”11 raut Mat lani nampak bingung mengucapkannya
“apa? Korrang pessena, tenang panggun etambaina, mnta beremmpa ba’na Ni.....hah?ye dhina tenang”12sambil melangkah meninggalkan Mat Lani.
Mat lani hanya diam saja saat H. Matram meninggalkan dirinya di depan pintu tenda tempatnya berteduh, Mat lani tahu diri kalau seperti saat ini H. Matram dihadapkan pada urusan yang serius Mat Lani bisa kena marah, bukan itu saja Mat lani bisa saja kena tebas lehernya oleh celurit H. Matram yang tajam. Karena H. Matram tidak suka jika saat hatinya sedang gembira diganggu oleh siapapun, semua orang pun tahu bahkan kaki tangannya sebelum Mat Lani pernah di hajar habis – habisan hanya karena menggangu kesenangan H. Matram.
Awan senja semakin pekat di ufuk barat menandakan telah selesainya matahari mengerjakan tugasnya, seperti halnya Indrajid dan mudawi yang telah menyelesaikan perlombaan hari ini dengan hasil yang memuaskan, berbeda dengan Mat Lani yang tampak masih saja bingung, lalu dia berlari menghampiri Mudawi yang masih berdiri diatas kaleles sapinya, Mat Lani segera mendekat pada Mudawi yang tampak ngos-ngosan sambil menyodorkan segelas air Mat Lani membisikan sesuatu pada Mudawi, Mudawi hanya mengangguk kecil terus melompat dan langsung mengelus – elus hidung Indrajid.
“ badha ponapa Nom….?13sepertinya ada masalah? Tanya Mudawai pada Mat lani
“iya, aku ingin bercerita sesuatu padamu, cong. Ini amanat dari Ibumu sebelum dia meninggal”jawab Mat Lani
“Amanat apa Nom….?sahut mudawi
“Begini sebelum ibumu meninggal dunia, dia meminta kepada pamanmu ini untuk kembali membawamu ke bangku sekolah, agar nasibmu berubah, tidak seperti bapakmu yang hanya menjadi tokang tongko’ sepertimu, ibumu ingin melihat dirimu sukses” jawab Mat Lani sambil merangkul Mudawi
“Aku sebenarnya ingin sekali kembali seperti dahulu, bersekolah, bermain bersama teman – teman sebayaku, tapi bagaimana pak Ajji, apa pak ajji akan merestui?”jawab Mudawi
“Nah itu, cong. Pamanmu juga bingung, kan kamu tahu bagaimana watak dari H. Matram yang keras, jika keinginannya di tolak, tangan dan celuritnya yang berbicara” Kata Mat Lani dengan wajah takut.
Mudawi hanya mengangguk kecil sambil menunduk, walau hari ini Mudawi berhasil mencetak sejarah, namun ada sebuah impian yang belum tercapai yaitu kembali mengenyam bangku sekolah. Hati Mudawi galau antara terus melanjutkan pekerjaannya sebagai tukang tongko’ atau kembali mengenyam bangku sekolah dasar yang belum dia rampungkan, apalagi setelah pamannya bercerita kalau yang memintanya kembali bersekolah ialah ibunya sendiri, seorang wanita yang mengandungnya 9 bulan, melahirkan, dan merawatnya hingga dia tumbuh besar sedangkan dirinya sendiri belum sempat berbakti kepada ibunya karena ibunya telah meninggalkan Mudawi untuk selamanya ketika dia kelas 4 SD. Sebelum dipinang H. Matram untuk menjadi tukang tongko’nya Mudawi merupakan siswa yang pandai di sekolahnya, beberapa kali mudawi ikut mengharumkan nama sekolahnya melalui lomba tartil Qur’an tingkat Kabupaten bahkan mudawi pernah menjadi finalis dalam MTQ tingkat provinsi, karena faktor ekonomi dan upah yang cukup menggiurkan dari H. matram akhirnya Mudawi lebih memilih menjadi tukang tongko’ seperti almarhum bapaknya daripada tetap bertahan di bangku sekolah.
Dipanggung podium riuh rendah suara panitia coba menenangkan para pemilik sapi yang protes karena tidak terima sapinya kalah. Mereka menganggap Indrajid telah curang, suasana semakin memanas ketika salah seorang Blater14 dari pemilik sapi menerobos kerumunan orang sambil mengacungkan sebilah celurit dan mengeluarkan sumpah serapah menantang panitia yang tidak becus melaksanakan lomba hari ini, segera aparat keamanan mengeluarkan tembakan peringatan ke udara dor…..dor…..dor…..melihat kejadian itu para orang yang berkerumun disekitar panggung panitia lari semburat meninggalkan panggung panitia, takur kena tembakan aparat. Memang piala Bupati sangat prestisius karena secara langsung menaikkan gengsi dan pamor pemilik serta nama sapi,tak terkecuali tukang tongko’ dan para kru yang terlibat.
Mat Lani langsung berteriak pada Mudawi setelah mendengar suara tembakan peringatan itu. Cong….awasi Indrajid, aku cari H. Matram dulu.” Ucap Mat lani sambil melompat lari mencari H. Matram di tengah kerumunan orang yang semburat. Mudawi langsung menuju tenda tempat berkumpul para pendukung Indrajid sambil menyuruh orang – orang di tenda tersebut untuk bersiaga, Mudawi tampak tegang, sambil memandang ke sekelilingnya, menunggu Pamannya kembali bersama H. Matram. Tiba – tiba dari tengah kerumunan tampak H. matram berlari kecil sambil membawa piala di iringi Mat Lani, seorang panitia dan beberapa aparat keamanan dari Polisi dan TNI. Setelah sampai di tenda dengan nafas tersengal – sengal H. Matram mengatakan pada semuanya bahwa untuk hadiah berupa satu buah sepeda motor akan dikirim paling lambat 3 hari setelah perlombaan hari ini, nampak seorang anggota TNI dengan nama Suyatno di emblem dada sebelah kanannya, menyampaikan kepada kami bahwa diharapkan untuk tidak terpancing suasana dan tetap di tenda serta Pak Suyatno juga menyampaikan untuk rombongan Indrajid diharapkan untuk pulang nanti setelah kondisi telah kondusif. Dalam tenda terdengar suara tertawa sambil menuji penampilan Mudawi dan Mat lani, yang tampil sangat baik baik pada pertandingan kerapan sapi sore ini, H. Matram lalu berteriak keras dengan sesumbar akan mengadakan tayub selama 3 hari dengan iringan grup music Putra Buana, suara H. Matram langung tenggelam disambut suara sorak – sorai para pendukung Indrajid yang langsung membuat lukisan 2 jempol tangan untuk H. Matram. Ditengah hingar – bingar canda tawa, Mudawi hanya diam bingung hatinya bertempur pendapat antara tetap menjadi tukang tongko’ atau kembali bersekolah, adzan berkumandang ketika air mata Mudawi berguguran ke tanah lapangan Giling Sumenep.

1 komentar untuk "Aku hanya tokang tongko’ (kisah seorang bocah penantang maut)"

close